Kampung Halamanku Di Ibu Kota

Saturday 25 August 2012



Ini cerita yang terjadi :
Semasa kecil, yang kutuliskan dalam buku pelajaran Bahasa Indonesia tentang kampung halaman adalah tempat yang asri,sejuk,merindukan,nyaman, dan menentramkan. Tapi apa yang terjadi adalah, kampung halamanku tak pernah seperti itu lagi, kurang lebih mulai 7 sampai 8 tahun yang lalu.
Tak ada lagi kabut yang turun dari lebatnya hutan karet, tak ada lagi pagi yang sejuk, tak ada lagi embun.

So what the matter with my village, no more give me some smile. 
Berbicara tentang ibu kota sebagai objek dalam tulisan ini adalah, kota yang menjadi induk dari pergerakan ekonomi sebuah negara, kota yang menjadi titik temu dari seribu budaya, kota yang menjadi tujuan setiap pemuda demi memulyakan masa depannya. Inilah yang sangat terasa pada setiap pergerakannya.
Menurut Badan Sensus Penduduk Nasional (BSPN) perkembangan jumlah penduduk di DKI Jakarta telah mencapai 15 % tiap tahunnya, dan perkembangan itu hanya terjadi pada satu waktu, setelah Idul Fitri. Dengan alasan mencari lapangan pekerjaan di ibu kota, masyarakat dari sejumlah daerah berbondong-bondong mengisi tiap gang-gang sempit di Jakarta.
"Jangankan lapangan pekerjaan,lapangan sepak bola saja sudah tidak ada."

Yang lebih mengesankan adalah, hampir 70% warga yang menetap ( terpaksa menetap ) di Jakarta adalah warga miskin. Jika kota ini adalah pusat aktifitas ekonomi, yang uang tidak pernah tidur disini, ini adalah sebuah fenomena. Tak pelak, bahwa kota ini akan tenggelam karena tak mampu lagi menahan beban masyarakatnya.

Contoh :
Ibu Yuli yang lahir dan besar di Brebes,Jawa Tengah. Datang ke Jakarta tanpa modal keahlian dan ijazah apapun sekitar 12 tahun yang lalu. Setelah beberapa minggu bolak-balik keluar masuk gang di Ibu kota, akhirnya Ibu Yuli mendapatkan pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga, dengan gaji waktu itu hanya Rp.15.000.-/ bulan. Mungkin saat itu dia masih merasa cukup dengan penghasilannya, maklum beliau juga belum menikah saat itu. 6 tahun berjalan, dia dipinang Sukardi yang juga asli Brebes dan berprofesi sebagai supir bemo, pada tahun 1998 terjadilah pergolakan politik yang disebabkan krisis ekonomi berkepanjangan pada rezim Soeharto. Alhasil sang majikan ibu Yuli tak mapu lagi menyisihkan uang untuk mempekerjakan pembantu rumah tangga, dia dipecat.
Pak Sukardi yang mengeluhkan kenaikan harga bensin yang menggila saat itu juga akhirnya menyerah. Keseharian hidup keluarga mereka pun akhirnya hanya diisi dengan harapan, belum lagi si Slamet yang sering menagis karena lapar.
Pendek cerita, sekarang keluarga bapak Sukardi hidup di tepian rel di daerah pasar senen, mereka mengandalkan gelas-gelas plastik yang mereka pungut setelah berjalan satu hari. Slamet pun menjadi seorang remaja tanpa pendidikan yang biasa menjadi tukang parkir di pasar senen.

Sementara yang lain berpesta, yang lainnya meratapi perut mereka.

Ibu kota bahkan lebih kejam dari pada ibu tiri.

Lain keadaan, ibu kotaku (kampung halamanku) adalah kotanya para pembalap, sepertinya tak ada bengkel yang melayani perbaikan rem di kota ini, entah berapa banyak yang mati. Sementara di timur sana saudara-saudara kita belum mengenal pakaian, kita mengeluh hanya karena kita belum update status di hari ini.

Musnahkanlah kami Tuhan, kami makhluk yang congkak.
Musnahkanlah kami Tuhan, kami makhluk yang tak tahu syukur.
Musnahkanlah kami Tuhan, kami ingkar janji.

Krisis moral, pahit jika aku menyebutkan ini di lidahku. Jika kita baca buku-buku tentang kebudayaan, bangsa ini dikenal karena sopan-santunnya, senyumnya, keramahannya. Omong kosong !
Entah harus marah pada siapa, kota ini telah menjadi begitu rusak, bukan hanya pada alamnya, tapi juga pada manusianya.
Dan kalian para pemuka agama yang setiap hari mengoceh tak ubahnya beo kenyang di televisi, apa yang kalian ajarkan, apa yang kalian pelajari dari sekolah kalian, hingga kalian begitu hebatnya dimata kami. Baru di negara ini aku melihat sang Ustadz di infotainment. lucu memang.

Tak sadarkah kita sudah terlalu buta pada dunia.

Teruntukmu Jenderal Sudirman disana, sudahlah. Turunkan tanganmu, tak pantas kau hormat pada kami.


by RS

0 comments:

Post a Comment